Aku dan Ve Oleh Destri Wihartanti, Penulis adalah mahasiswi Univ. Jember Cuaca mendung pagi ini sama sekali tidak mematahkan semangatku untuk pergi ke sekolah. Mobil dan mang Kardi sudah siap di depan pintu sambil membawa payung. Sedangkan mama siap dengan bekal makan siangku. Asyiknya jadi anak tunggal. Segala sesuatu siap di depan mata. Minta apa saja ada dan tak perlu susah. Tiap hari antar-jemput pakai mobil pribadi, tak perlu takut terlambat. Maklum, papa adalah seorang kepala cabang sebuah bank swasta di kotaku ini. Mobil BMW keluaran terbaru tiba di depan pintu gerbang sekolahku tepat jam tujuh. Semua mata memandang ke arahku yang keluar dari mobil. Mereka seakan takjub padaku. Bagaimana tidak, aku termasuk anak paling kaya di sekolah ini, cantik, pintar, dan pacarku adalah pebasket paling cakep andalan sekolah. Aku melangkah ke kelas dengan langkah pasti. Rambutku yang panjang tergerai menyibak sebagian wajahku. Sahabat-sahabatku pasti sudah menungguku. Mereka menunggu ceritaku dengan Riko, pacarku itu. "Halo," sapaku sambil melempar tas ke atas meja dan duduk di antara sahabat-sahabatku. "Duh, yang habis kencan, senengnya," sahut Riri. "Cerita dong!" pinta Dani dengan semangat. "Pokoknya, malam minggu pertama yang sangat berkesan buatku. Dia kasih aku sebuket bunga mawar merah dan Teddy Bear. Trus ada cokelat. Seru banget deh!" ucapku berapi-api memamerkan pacarku. Ya, pacarku yang baru seminggu jadian. "Eh tuh, sang pangeran datang. Nggak disambut?" ledek Riri sambil mengerling padaku. Sehera kuhampiri Riko dan bergelayut mesra di pundaknya. "Aku ngumpul lagi ya sama mereka," ucapku sambil menunjuk Riri dan dani. Riko tersenyum manis. Pantas saja sebutannya cowok sejuta senyum maut. Segera kuhampiri Riri dan Dani yang bengong menikmati senyuman Riko. "Udah dong ngeliatnya. Dia kan udah ada yang punya," ujarku dan segera beralih ke mejaku karena pak Tikno sudah ada di depan. Rasanya puas sekali bisa membuat semua orang iri padaku. Menurutku, apa yang kupunya ini adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Di antara sahabat-sahabatku, akulah yang paling beruntung. Mempunyai orang tua yang berpikiran modern, sangat berkecukupan, dan semua mata memandangku. Apa lagi yang kurang? *** Siang ini Riri dan Dani mendapatkan undangan spesial dariku. Nonton film sambil menikmati oleh-oleh papaku dari Singapura. Ketika masuk ke halaman rumahku, mereka sangat terheran-heran. "Jangan heran dulu," pikirku. Mereka belum melihat seluruhnya. Naik mobil mewah saja mungkin baru kali ini. Biasanya sih mereka naik angkot, kepanasan, kehujanan, berebutan. Duh, tak terbayang susahnya. "Ayo masuk!" ajakku. Riri dan Dani mengikutiku dari belakang. "Siang Ma, ini teman-teman Ve. Yang ini namanya Dani, yang ini Riri." "Sudah, cuci tangan dulu. Makan siangnya sudah mama siapin," kata mama. Ayam goreng, sup, telur, cumi-cumi kesukaanku sudah tersaji di meja makan. Kurasa air liur mereka sudah tak tertahankan lagi. Lihat saja ketangkasan mereka mengambil sepotong ayam goreng. Seperti tak pernah makan ayam goreng saja. Mama sampai tersenyum melihatnya. Selesai makan siang aku mengajak mereka ke ruang sebelah. Kurasa ini pun pertama kalinya mereka melihat home theatre. *** Tak terasa sudah jam empat sore. Badanku terasa capek sekali. Kulihat emak sedang mengupas bawang merah di depan dan menyiapkan bahan-bahan masakan yang akan dijual besok di warung dekat stasiun. Melihatku, emak hanya geleng-geleng kepala. Tak biasanya aku pulang terlambat. Apalagi meninggalkan tugasku membantu emak. "Dari mana saja kamu Dan? Emak sudah menunggu dari tadi. Kamu kok nggak pulang-pulang?" tanya emak. "Dari perpustakaan Mak, baca-baca," jawabku kemudian menggantikannya mengupas bawang merah. "Ke perpustakaan kok sampai sore? Apa nggak ada hari lain?" lanjutnya. "Hm," desahku. Hari yang melelahkan bagiku. Hampir seharian berada di perpustakaan daerah. Bukan untuk mencari buku, tapi melamun. Melamun yang berlebihan dan mengagumi rumah Ve yang sangat megah. Bayangan yang sangat jauh dari kehidupanku. Belum puas aku membayangkannya, perpustakaan sudah mau tutup. Dan aku harus segera pulang, teringat emak yang sudah tua memasak sendirian di dapur. Hilang sudah bayanganku jadi Ve. Jadi orang kaya, cantik, punya mobil mewah, punya pacar cakep. Sambil mengupas bawang merah aku terus berpikir seandainya aku jadi Ve, pasti aku sudah sombong seperti bayanganku tadi siang. Lagipula bagaimana mungkin aku bisa menggantikan Ve yang sangat cantik, sederhana walaupun memiliki segalanya, pintar, dan pendiam. Seandainya aku menjadi Ve, aku pasti menjadi Ve yang lain. Sombong, angkuh, dan sok kaya. Untunglah aku bukan Ve. Aku tetap Dani yang harus naik angkot setiap berangkat sekolah. Aku hanya salah satu sahabat Ve. Tuhan memang adil. Menciptakan makhluknya berbeda-beda dan saling melengkapi seperti aku dan Ve. Dialah yang menopang biaya sekolahku. Dia sahabat terbaik yang pernah kumiliki. "Maafkan aku Ve, aku telah membayangkan diriku menjadi dirimu."